Contohnya kampanye melalui sekolah, komunitas, bahkan menitipkan pesan kepada pemuka agama yang memiliki pengaruh besar. Penyadaran tingkat keluarga serta mengadakan penyuluhan kepada masyarakat juga penting, kata Peri.
“Pengetahuan yang diberikan mulai dari pengantar tren pornografi, UU pornografi dari sisi hukumnya, pemahaman dan kampanye seputar internet seperti internet parenting coach, termasuk juga pola pengasuhan pengasuhan di era internet. Bagaimanapun anak muda yang pertama menerima konsekuensi dari keterlibatannya terhadap pornografi,” jelas Peri saat dihubungi Kompas Female.
Lebih lanjut Peri memaparkan bahwa anak dan remaja perlu terus dicerdaskan mengenai bahaya sexting. Termasuk dengan menyadarkan remaja bahwa apapun yang masuk melalui internet tidak akan bisa dihapus. Selain itu, orangtua juga perlu memainkan perannya. Orangtua perlu menanamkan komitmen kepada anak, dan tidak memberikan privasi kepada anak di bawah 18 tahun.
“Anak tidak pernah punya komitmen dengan orangtua, tentang kepemilikan flashdisk, atau gadget lainnya, dan bahkan meng-upload apapun melalui internet. Jika ingin memberikan gadget kepada anak (apapun bentuknya) seharusnya disertai komitmen yang disepakati bersama anak. Sehingga anak tak akan coba-coba memasukkan materi pornografi. Karena anak yang dibiasakan dengan privasi tanpa komitmen, akhirnya tak tercegahkan mengakses pornografi,” jelas Peri, menambahkan belum terlambat melakukan berbagai upaya untuk menyadarkan semua pihak untuk tidak terjerumus dalam fenomena sexting.
JBDK, dengan jaringan di beberapa kota di Indonesia, tetap memerlukan kerjasama berbagai pihak dalam kampanye penyadaran semacam ini. Di Riau, perusahaan besar ikut andil dalam menyelenggarakan kampanye. Meski tak bisa melakukan advokasi, dan hanya menerima laporan dan konsultasi, JBDK bermitra dengan banyak lembaga untuk membantu pihak yang menjadi korban sexting, dalam hal ini banyak korbannya adalah perempuan.
Data dan kasus yang terus terkumpul memang semakin memprihatinkan. Dalam kurun 2008 – 2009 saja, Parry Aftab, pengacara yang juga pakar cybercrime di Amerika (mengutip Peri dari esainya tentang pornografi sexting), mengklaim 44 persen pelajar putra pernah mendapatkan materi porno dari pelajar putri satu sekolahnya. Sekitar 15 persen remaja putra menyebar materi porno dengan pasangannya setelah putus hubungan. Peri meyakini angka ini sama dengan kondisi Indonesia, meski belum ada penelitian lebih jauh mengenai validitasnya.
Mari berkaca dari apa yang terjadi pada Jesse Logan (18), remaja Amerika yang bunuh diri karena malu akibat sexting. Cynthia Logan, ibu Jesse, mendedikasikan diri sebagai aktivis penyadaran berkenaan dengan sexting. Kepedulian seperti ini bisa diwujudkan dengan menerapkan sejumlah cara. Seperti cara yang dilakukan Parry Aftab, yang kini menjadi aktivis perlindungan remaja di dunia maya. Ia menerapkan aturan tiga C: content, contact, dan cost, dalam mendampingi anak-anak dengan teknologi.
Content
Harus ada pembelajaran bagi anak-anak tentang pesan atau isi seputar teknologi informasi (internet) dan fasilitasnya.
Contact
Pembelajaran juga perlu diberikan kepada anak-anak tentang pergaulannya, dengan siapa dia bergaul, dan bagaimana seharusnya.
Cost
Harga tak sekadar bicara fisik, namun juga kesiapan mental saat bersentuhan dengan teknologi, apapun itu bentuknya, terutama internet.
Jika anak perlu mendapatkan edukasi tentang tiga hal, lantas orangtua pun perlu lebih banyak tahu dan cerdas mendampingi anak dan remaja, bukan? Artinya orangtua pun perlu lebih terbuka dengan edukasi seputar pornografi agar anak tak terjebak dalam dunia maya yang memperburuk kualitas hidupnya. Teknologi seharusnya menumbuhkan kelayakan hidup anak dalam era internet seperti sekarang ini. [tribunnews]
Rating: 100% based on 99998 ratings. 7912 user reviews.
KLIK UNTUK INFO TIPS DAN TRIK KASKUS